SEJARAH BATAK TOBA
Batak Toba
adalah sub atau bagian dari suku Batak yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea,
Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan, Borbor, Lumban Julu dan sekitarnya.
Silindung, Samosir, dan Humbang bukanlah Toba. Karena sub atau bagian bangsa
Batak tersebut memiliki wilayah dan contoh marga yang berbeda. Sonak Malela
yang mempunyai tiga orang putra dan menurunkan empat marga, yaitu Simangunsong,
Marpaung, Napitupulu dan Pardede, merupakan dan (nairasaon) yang terdiri dari
Sitorus, Sirait, Butar-butar, Manurung ini merupakan beberapa marga dari Batak
Toba. Marga atau nama keluarga adalah bagian nama yang merupakan pertanda dari
keluarga mana ia berasal. Orang batak selalu memiliki nama marga/keluarga.
Nama/marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang
selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus.
UNSUR KEBUDAYAAN PADA
SUKU BATAK
A. BAHASA
Dalam
kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa logat,
ialah: (1) Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo; (2) Logat Pakpak yang
dipakai oleh Pakpak; (3) Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun; (4)
Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing.
1). Aksara
/ huruf Batak
atau disebut ‘Surat Batak’ adalah huruf-huruf yang dipakai dalam naskah-naskah
asli suku Batak (Toba, Angkola/Mandailing, Simalungun, dan Karo). Kelompok
bahasa sub suku ini mempunyai kemiripan satu sama lain dan sebenarnya adalah
cabang dari suatu bahasa Batak tua (Proto Batak). Naskah asli itu sebagian
besar berupa pustaha (laklak), sebagian kecil lainnya dituliskan pada bambu dan
kertas. Hampir semua orang Batak yang menulis buku tentang Batak selalu
memasukkan satu bab atau bagian bukunya tentang Surat Batak atau paling tidak
ia membuat sebuah tabel abjad Batak. Ini menunjukkan mereka bangga akan warisan
budaya leluhurnya itu. Tetapi sayang sekali karena kurangnya pemahaman kerap
kali salah kaprah dan tidak jelas. Kekeliruan ini akan nyata kalau kita terapkan
untuk membaca suatu naskah asli Pustaha. Berani saya bertaruh, pasti akan sulit
kita baca, alias membuat kita bingung sendiri. Bahkan dalam buku-buku wajib
pelajaran aksara Batak yang dipakai di sekolah di daerah Tapanuli banyak
dijumpai kekeliruan ini. Soalnya sekarang bagaimana membenahi ini semua ?
Banyak buku bermutu dari pakar asing yang sangat baik bisa dipakai sebagai
rujukan. Tetapi masalahnya adalah semuanya ditulis dalam bahasa asing, Jerman
atau Belanda. Sekarang ini sudah jarang kita yang menguasainya.
Syukurlah
beberapa tahun lalu, Dr. Uli Kozok,
seorang ahli bahasa kuno (filolog) berkebangsaan Jerman, yang menyunting putri
Tanah Karo, telah menulis sebuah buku panduan ringkas Surat Batak yang sangat
baik dalam bahasa Indonesia “Warisan
Leluhur, Sastra Lama dan Aksara Batak”, 1999. Kozok yang pernah menjadi
pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (1990-1991) menulis
disertasi tentang sastra Batak Ratapan (andung-andung). Dengan buku panduan
Dr.Kozok ini diharapkan putra asli Batak yang berminat bisa memiliki bahan
acuan yang baik untuk meneliti naskah-naskah tua yang hampir punah, dan masih
tersebar di berbagai tempat di luar ataupun di dalam negeri. Ia juga telah
membuat suatu font Surat Batak sehingga sekarang kita boleh melakukan pengetikan
komputer dengan aksara Batak. Naskah pustaha sekarang sudah sangat langka dan
tersebar di beberapa perpustaakan di Eropa. Diperkirakan jumlahnya hanya 2000
buah. Bagaimana caranya mengembalikannya ke tanah air perlu dipikirkan. Naskah
batak yang ditemukan dalam bentuk bambu ataupun tulang kerbau dan kertas sangat
kecil jumlahnya. Perlu dicatat, sastra Batak kebanyakan tidak ditulis melainkan
dialihkan turun temurun secara lisan. Surat Batak hanya dipergunakan untuk ilmu
kedukunan, surat menyurat (ancaman). Di daerah Karo, Simalungun, Angkola juga
dipakai untuk menulis syair/nyanyian ratapan. Jadi legenda, mitos, cerita
rakyat (turi-turian), umpama, umpasa, teka-teki (torhan-torhanan), silsilah
(tarombo) tidak akan anda jumpai dalam bentuk naskah Batak asli. Khusus
mengenai silsilah marga yang diturunkan dengan tradisi lisan, belakangan
menimbulkan berbagai versi. Tidak jarang pecah perselisihan, yang sebenarnya
lebih berpangkal pada ego kelompok dan tribalisme. Kebanyakan naskah berbentuk
pustaha. Pustaha adalah semacam buku terbuat dari kulit kayu (laklak) yang
dilipat sedemikian rupa dengan sampul terbuat dari kayu alim (lampak) yang
lebih keras. Yang dituliskan pada pustaha pada pokoknya adalah soal-soal yang
menyangkut ilmu kedukunan (hadatuon). P.VoorhoeveL.Manik yang meneliti 461 pustaha di beberapa
perpustakaan di Eropa, sebagaimana dikutip oleh Kozok, membagi ilmu hadatuon :
1.
Ilmu hitam (Pangulubalang, Pamunu tanduk, gadam dll)
2.
Ilmu putih (Pagar, Sarang timah, Porsimboraon, dll)
3.
Ilmu lain-lain (Tamba tua, Dorma, Parpangiron dll)
4.
Obat-obatan
5.
Nujum
Induk Huruf
Sistem
tradisi penulisan didalam bahasa Batak Toba diduga telah ada sejak abad ke-13, dengan
aksara yang mungkin berasal dari aksara Jawa Kuna, melalui aksara Sumatera
Kuno.
Aksara
ini bersifat silabis artinya tanda untuk menggambarkan satu suku kata/silaba
atau silabis. Jumlah lambang/tanda itu sebanyak 19 buah huruf yang disebut juga
induk huruf dan ditambah 7 jenis anak huruf. Pada dasarnya huruf /ka/ tidak pernah
ditemukan dalam bahasa Batak Toba, misalnya orang Batak Toba pada mulanya bila
menyebutkan kopi adalah hopi, dan hoda (bukan kuda). Tetapi sekarang ini orang
Batak tidak lagi menyebutnya hopi melainkan kopi, itulah perubahan pelafalan dalam
bahasa Batak Toba.
Penjelasan :
1.
Untuk
menuliskan semua kata-kata asli bahasa Batak. Sebenarnya hanyalah dipergunakan
aksara-aksara yang telah diperkenalkan itu. Tetapi karena pengaruh bahasa asing
maka terpaksalah dibuat aksara-aksara yang lain untuk melengkapi aksara yang
sudah ada itu, yaitu : wa, ka , ya, nya dan ca.
2. Karena menulis garis yang agak melengkung jauh
lebih mudah dan merasa senang dari pada membuat garis lurus, maka bentuk
aksara-aksara Batak “Surat Barak” itu menjadi melengkung.
3.
Cara
menulis aksara Batak sama saja dengan menulis huruf latin, yaitu dari kiri ke
kanan.
4.
Surat
Batak tidak mempunyai tanda baca seperti koma, titik koma dan lain sebagainya.
Yang ada hanya tanda untuk menyatakan sebuah kalimat berakhir dengan bentuk
seperti [ ]
5.
Pada
surat Batak tak ada huruf besar atau kecil, sebab aksara Batak itu bentuknya
sama. Anak huruf, Hatadingan (-) “e”; dan hamisaran/paninggil (..-) “ng” berada
pada induk huruf dan hamisaran/paninggil “ng” dapat melekat dengan anak huruf
seperti haluaan (o), singkora (x)
6.
Hamisaran;
Paninggil “ng” selalu melekat pada anak huruf, seperti haluaan (o),
singkora(x).
Anak Huruf
Anak
huruf dalam aksara Batak Toba terdiri atas 7 buah yang dipergunakan untuk
mengubah bunyi induk huruf, misalnya bunyi /i, u, o,e/ dan menambah bunyi /ng/
pada induk huruf tersebut . Perhatikan anak huruf di bawah ini.
1.
Haluaan
(…. o) bunyi /i/, yakni mengubah bunyi induk huruf menjadi bunyi /i/.
2.
Haboruan
atau haborotan (…>) bunyi /u/, yakni mengubah bunyi induk huruf menjadi
bunyi /u/.
3.
Singkora
atau siala (…x) bunyi /o/, yakni mengubah bunyi induk huruf menjadi bunyi /o/.
4.
Hatadingan
(-…) bunyi /e/, yakni mengubah bunyi induk huruf menjadi bunyi /e/.
5.
Paninggil
atau hamisaran bunyi /ng/, yakni menambah tanda garis di atas induk huruf
sebelah kanan yang menjadi bunyi /ng/ atau tanda diakritis yang menutup suku
kata dengan bunyi.
6.
Sikorjan
(…=) bunyi /h/ yang terikat. Selain bunyi “h” yang dapat berdiri sendiri ada
juga bunyi “h”. yang terikat kepada induk huruf (ina ni surat). Dahulu kala
dalam pustaha Batak tidak mengenal huruf “h” yang terikat, akan tetapi mengenal
huruf “h” yang bebas (tidak terikat) pada ina ni surat (induk huruf). Tanda
huruf “h” (sikorjan) yakni membubuhi tanda garis dua diatas induk huruf agak ke
sebelah kanan, yang pada akhirnya berbunyi /h/.
7.
Pangolat
(\), merupakan garis miring berfungsi untuk merubah bunyi vokal menjadi bunyi
konsonan atau tanda diakritis yang menghilangkan bunyi dari huruf induk pada
akhir suku kata.
8.
Untuk
pemenggalan di akhir kata, dipakai tanda kurung tutup misalnya tanda [ ) ].
9.
Untuk
mengakhiri kalimat dipergunakan tanda kembang [ ]
10. Semua aksara ditulis di bawah garis
dengan tujuan agar kelihatannya rapi dan mudah ditulis. Huruf besar dan huruf
kecil tidak ada perbedaan.
11. Kata dalam aksara Batak ditulis tanpa
jarak, tidak mempunyai batas permisah antar kata.
12. Untuk menulis aksara Batak ditulis
agak melengkung sedikit (punggungnya agak bungkuk sedikit).
13. Patik dohot poda ni surat Batak :
·
Ingkon
jumolo do ina ni surat bahenon, misalnya morhamisaran “ng” ipe asa maranak;
morhatadingan “e”; morhaboruan “o” morhauluan “i”; morhaboritan “u”.
·
Ingkon
jumolo do ina ni surat marhajoringan “h” (di Simalungun dohot Karo) ipe asa
maranak; hatalingan “e” ; haboruan “o” hauluan “i”.
·
Ingkon
jumolo do ina na tu inana tongonon “manongan “, ipe asa mangihut anakna
bahenon.
·
Ndang
jadi tu anak ni surat ampe hamisaran i, ingkon tu ina ni surat do parjolo, ipe
asa maranak, morhauluan manang morhaboruan.
Pengembangan Akasara atau Tulisan Batak
B. PENGETAHUAN
Orang
Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam
bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut
Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama
mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran. Raron itu
merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri
tergantung kepada persetujuan pesertanya.
Ini
adalah nama-nama hari disatu bulan dalam bahasa Batak :
1. Artia
2. Suma
3. Anggara
4. Muda
5. Boraspati
6. Singkora
7. Samisara
8. Artia ni Aek
9. Suma ni Mangadop
10. Anggara Sampulu
11. Muda ni mangadop
12. Boraspati ni Tangkup
13. Singkora Purasa
14. Samisara Purasa
15. Tula
16. Suma ni Holom
17. Anggara ni Holom
18. Muda ni Holom
19. Boraspati ni Holom
20. Singkora Moraturun
21. Samisara Moraturun
22. Artia ni Angga
23. Suma ni Mate
24. Anggara ni Begu
25. Muda ni Mate
26. Boraspati Nagok
27. Singkora Duduk
28. Samisara Bulan Mate
29. Hurung
30. Ringkar
Nama
bulan dalam bahasa Batak :
1. Sipahasada
2. Sipahadua
3. Sipahatolu
4. Sipahaopat
5. Sipahalima
6. Sipahaonom
7. Sipahapitu
8. Sipahaualu
9. Sipahasia
10. Sipahasampulu
11. Li
12. Hurung
C. TEKNOLOGI
Masyarakat
Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan
untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam
bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi)
atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso
surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur
(sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya
yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam
kehidupan adat Batak.
D. ORGANISASI SOSIAL
a.
Perkawinan
Pada
tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda
klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga
lain selain marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari
suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan).
Acara tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja
karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen. Untuk mahar
perkawinan-saudara mempelai wanita yang sudah menikah.
b. Kekerabatan
Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di
daerah pedesaan yang disebut Huta atau Kuta menurut istilah Karo. Biasanya satu
Huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Ada pula kelompok kerabat yang
disebut marga taneh yaitu kelompok pariteral keturunan pendiri dari Kuta. Marga
tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga.
Klen kecil tadi merupakan kerabat patrilineal
yang masih berdiam dalam satu kawasan. Sebaliknya klen besar yang anggotanya
sdah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat
mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama
kecilnya. Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu :
(a) perbedaan tigkat umur, (b) perbedaan pangkat dan jabatan, (c) perbedaan
sifat keaslian dan (d) status kawin.
« Dalihan Natolu artinya tungku berkaki tiga.
Pertanyaan berikutnya kenapa harus berkaki tiga bukan berkaki empat atau lima.
Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu
dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki
lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian
meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku
berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku batak
sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara,
dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup
antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari
bahwa semua orang mempunyai peranan mutlak dan akan pernah menjadi hula-hula,
pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. Wow suatu sistem yang
sangat Demokratis.
Latar Belakang Pemakaian Istilah
“Dalihan Na Tolu”
Pada masa dulu, kebiasaan masyarakat
Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu, tungku itu
dalam bahasa Batak disebut Dalihan. Tungku merupakan bagian peralatan rumah
yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan primer, digunakan untuk memasak
makanan dan minuman. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Tungku (dalihan
natolu), kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk
periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal, benda
pengganjal ini dalam bahasa Batak Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka
siap untuk memasak.
Dalihan Na Tolu dalam hukum adat
maupun budaya batak
Konsep
Dalihan Na Tolu dalam hukum adat maupun budaya batak diartikan dalam 4 bagian
yaitu:
1.
Hula-hula
2.
Dongan Tubu
3.
Boru
Dalihan
Na Tolu dalam pengelompokan masyarakat bukanlah kasta karena setiap orang Batak
memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula-hula, ada saatnya
menempati posisi Dongan Tubu dan ada saatnya menjadi Boru. Prinsip Dalihan Na
Tolu tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status
seseorang.
Sebagai
contoh : Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur (berperan sebagai Boru)
harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak
istri yang kebetulan seorang Camat (Berperan sebagai Hula-hula). Itulah
realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya.
Lebih
tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan sistem demokrasi Orang Batak
karena sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal. Dalihan Natolu
adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan
budaya Batak. Penanannya dalam kehidupan sehari-hari sangat besar seperti
halnya menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan
hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Kemudian dalam adat
batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional
sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar
bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:
Somba Marhula-hula : ada yang menafsirkan pemahaman ini
menjadi “menyembah hula-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba,
yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini
tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba
marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula.
Hula-hula dalam adat Batak adalah
keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh
suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan
peminangan adalah pihak lelaki. Sehingga apabila perempuan sering datang ke
rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya,
dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot
(enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk
sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh
orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa
bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah
laki-laki dianggap menyalahi adat.
Pihak perempuan pantas dihormati,
karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada
satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu,
tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya. Hula-hula dalam adat Batak
akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak
berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara
lain : Bonaniari,
Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
Gadong dalam masyarakat Batak
dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan
pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo). Siraraon adalah kondisi ubi
jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isisnya berair.
Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan
menemui kesulitan mencari nafkah. Jadi pihak borulah yang menghormati
hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu
dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya
akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya,
tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati
hula-hula (baca elek marboru)
Dalam budaya Batak, ada umpasa yang
mengatakan "Litok aek ditoruan, tujulu ni jalanan". Hal ini terjadi
apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup. Ada
pemikiran, semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau menderita
itu ada sikap-sikap yang tidak menghormati hula-hula, sehingga pernyataan
siraraon do gadongna dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk
menghilangkan bala itu, diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk
memohon ampun apabila ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu kepada pihak
hula-hula.
Upacara mamboan sipanganon
disampaikan kepada keturunan pihak hula-hula setaraf generasi terdahulu atau
tingkat yang dianggap pernah terjadi kesalahan itu.
Dalam berbagai agama, ibu sangat
diagungkan. Bahkan ada ungkapan sorga ada ditelapak kaki ibu. Dalam agama
Kristen, hukum Taurat ke V menyebutkan, hormatilah ibu-bapamu agar lanjut
usiamu, dst. Tidaklah bertentangan bila falsafah dalihan na tolu somba
marhula-hula diterapkan. Karena kita menghormati keluarga ibu yang kita cintai
itu. Dalam agama Kristen disebutkan, kalau menghormati orang tua, akan mendapat
berkat dan lanjut usia.
Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan
: berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru
adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak
kita (anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu
borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. tanpa boru,
mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
Manat mardongan tubu/sabutuha : suatu sikap berhati-hati
terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat.
Hati –hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi
marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini
menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga
dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan dll. Inti ajaran
Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati
(masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong.
Dalihan Natolu menjadi media yang memuat azas hukum yang objektif.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya Toga Simamora yakni Purba, Manalu dan Debataraja. Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya Toga Simamora yakni Purba, Manalu dan Debataraja. Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
"Angka naso manta mardongan tubu, na tajom ma adopanna"
Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik. Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.
Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik. Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.
Apabila dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan pada perkelahian. Hal itu dapat dipahami, karena suatu keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Bahkan karena diikat oleh kasih sayang, dalam adat Batak , namardongan tubu dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya. Misalnya panggilan “ho”, “langkam”, “amani aha”, dll panggilan yang sangat akrab. Namun harus diingat, dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang menimbulkan pertikaian atau perkelahian. Hal ini dapat terjadi pada tonggo raja (perencanaan acara puncak adat) yang tidak menempatkan posisi dongan tubu sesuai dengan kepentingan adat.
Dalam kasus lain, manta mardongan tubu sangat perlu diingat dalam masalah harta warisan atau masalah kepemilikan. Karena dalam kenyataannya, masalah warisanlah penyebab terbesar pertikaian di kalangan namardongan tubu. Hal itu terbukti pula dalam persidangan-persidangan pengadilan negeri di Bona Pasogit yang bertikai akibat harta warisan (terutama tanah) sering membawa korban jiwa. Pertikaian akibat harta warisan antara boru ke hula-hula sangat jarang sekali.
Dalam ungkapan (umpasa) batak ada
istilah "jolo diseat hata asa di seat raut", artinya, sebaiknya
segala sesuatu itu dimusyawarahkan dulu sebaik-baiknya, barulah dilaksanakan.
Umunya umpasa itu disampaikan dalam rangka pembagian jambar, yang diatur oleh
pihak-pihak namardongan tubu. Itulah sebabnya ada ungkapan marpanungkun
(konsultasi).
"Patutak Pande Bosi, soban bulu panggorgorina,
Marpukpak angka na marhahamaranggi (na mardongan tubu) angka boru ma pangolanina"
Pandai Besi (pande bosi) biasanya dalam membentuk tempahannya sangat riuh bunyi peralayannya. Namun untuk menjadikan tempahan itu, harus ada kayu atau arang yang membakarnya supaya jadi baik. Demikian diumpamakan, kalau pihak hula-hula namardongan tubu bertikai karena sesuatu hal, agar tercapai kebaikan, pihak boru berperan sebagai penengah, bukan terlihat dalam pertikaian itu.
Marpukpak angka na marhahamaranggi (na mardongan tubu) angka boru ma pangolanina"
Pandai Besi (pande bosi) biasanya dalam membentuk tempahannya sangat riuh bunyi peralayannya. Namun untuk menjadikan tempahan itu, harus ada kayu atau arang yang membakarnya supaya jadi baik. Demikian diumpamakan, kalau pihak hula-hula namardongan tubu bertikai karena sesuatu hal, agar tercapai kebaikan, pihak boru berperan sebagai penengah, bukan terlihat dalam pertikaian itu.
Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.
Peranan Dalihan Na Tolu dalam Sistem
Pemerintahan
Di Tapanuli telah diterbitkan Perda
No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat
yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang
mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati
adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10 Tahun 1990).
Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya adat-istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. (Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga DalihanNatolu adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, kebudayaan, kesenian daerah, gotong royong dan kekeluargaan.(Pasal 1 h Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga ini berkedudukan di tempat Desa/Kelurahan/Kecamatandan tingkat Kabupaten(Pasal 5 dan 7 Perda No. 10 Tahun 1990). Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat. Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya adat-istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. (Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga DalihanNatolu adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, kebudayaan, kesenian daerah, gotong royong dan kekeluargaan.(Pasal 1 h Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga ini berkedudukan di tempat Desa/Kelurahan/Kecamatandan tingkat Kabupaten(Pasal 5 dan 7 Perda No. 10 Tahun 1990). Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat. Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ada
begitu banyak sapaan kekerabatan yang biasa diucapkan oleh masyarakat Batak
yang sering kita dengar, tetapi banyak juga orang yang mengklaim dirinya suku
batak tetapi tidak tahu "martutur"(bertutur
sapa).
Kesalahan
dalam sapaan ini bagi masyarakat Batak yang memahami adat dapat mengakibatkan
ketersinggungan dan komunikasi yang tidak baik kepada lawan bicara sehingga
sering muncul ucapan "Naso maradat do ho bah !".
Oleh
sebab itu masyarakat Batak wajib memahaminya, berikut ini ada beberapa tutur
sapa yang sering diucapkan semoga berguna :
1.
Ale-ale
= teman akrab, bisa saja berbeda marga
2.
Amang Naposo =
anak (lk) abang/adik dari hula-hula kita
3.
Amang/
damang/ damang parsinuan =ayah, bapak, sapaan umum menghormati kaum laki-laki
4.
Amangbao
= suami dari adik/ kakak (pr) (eda) suami kita
5.
Amangboru
= suami kakak atau adik perempuan dari ayah
6.
Amangtua
mangulaki = kakek ayah
7.
Amangtua
= abang dari ayah, suami dari kakak ibu, suami dari pariban ayah yang lebih tua
8.
Amanguda
= adik laki-laki dari ayah, suami dari adik ibu, suami dari pariban ayah yang
lebih muda
9.
Amanta/
amanta raja = kaum laki-laki yang biasa dipanggil pada sebuah acara adat
10. Ampara = sapaan umum buat yang
se-marga, marhaha-maranggi (abang-adik) untuk yang laki-laki
11. Anakboru = perempuan yang masih
gadis atau belum menikah
12. Anggi doli = suami dari anggiboru.
Adik (lk) sudah kawin.
13. Anggi = adik kita (lk), adik (pr)
boru tulang
14. Anggiboru = isteri adik kita yang
laki-laki, istri dari adik yang satu marga
15. Angkang boru = isteri abang satu
marga
16. Angkang doli = abang, laki-laki yang
lebih tua dari kita yang sudah menikah dan satu marga sesuai tarombo / silsilah
17. Angkangboru mangulaki = namboru ayah
dari seorang perempuan
18. Bere = semua anak (lk / pr) dari
adik/kakak perempuan
19. Bona niari = tulang dari kakek
20. Bonaniari binsar = tulang dari ayah
kakek
21. Bonatulang = tulang dari ayah
22. Boru diampuan = keturunan dari
namboru ayah
23. Boru = anak kandung perempuan, semua
pihak keluarga dari saudara perempuan
24. Borutubu = semua menantu (lk) /
isteri dari satu ompung
25. Dahahang (baoa/ boru) = abang kita
atau isterinya
26. Dainang = ibu, sebutan kasih sayang
anak kepada ibu, digunakan juga oleh ayah kepada anak perempuannya
27. Dakdanak = anak laki-laki atau
perempuan yang masih kecil
28. Damang = ayah, bapak, sebutan kasih
sayang dari anak kepada ayah, digunakan juga oleh ibu kepada anaknya sendiri
29. Dolidoli = laki-laki yang masih
lajang atau belum menikah
30. Dongan sahuta = kekerabatan akrab
karena tinggal dalam satu kampung
31. Dongansapadan = dianggap semarga
karena diikat oleh janji atau ikrar
32. Dongantubu = abang/ adik satu marga
33. Eda = kakak atau adik ipar antar
perempuan, sapaan awal antara sesama wanita
34. Haha = abang laki-laki
35. Hahadoli = sebutan isteri terhadap
abang (kandung) suaminya, abang dari urutan marga
36. Hela = suami anak perempuan kita,
menantu laki-laki, bisa juga sebutan untuk suami dari anak perempuan kita yang
se-marga dan setarap menurut silsilah marga
37. Hula-hula = keluarga abang/adik (lk)
dari isteri
38. Ibebere = keluarga anak (lk/pr) dari
pihak perempuan
39. Inang simatua = ibu mertua
40. Inangbao = isteri dari adik/ abang
(lk) istri kita
41. Inangnaposo = isteri dari
amangnaposo
42. Inangtua mangulaki = nenek ayah
43. Inangtua = isteri dari abang ayah,
ada juga inangtua marpariban
44. Inanguda = isteri dari adik ayah,
ada juga inanguda marpariban
45. Inanta/ inanta soripada = sebutan
penghormatan bagi wanita sudah menikah, kaum ibu yang lebih dihormati dalam
acara adat
46. Ito, iboto = kakak atau adik
perempuan satu marga, sapaan awal dari laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya,
panggilan kita kepada anak perempuan dari namboru
47. Lae = tutur sapa anak laki-laki
tulang dengan kita (lk) maupun sebaliknya, tutur sapa awal perkenalan antara
dua laki-laki, suami dari kakak atau adik kita sendiri (lk), anak laki-laki
dari namboru kita (lk)
48. Maen = anak-gadis dari hula-hula
kita
49. Namboru = kakak atau adik ayah kita
yang sudah menikah maupun belum
50. Nantulang = isteri dari tulang kita,
mertua dari adik kita yang perempuan
51. Nini = sebutan untuk anak dari cucu
laki-laki
52. Nono = sebutan untuk anak dari cucu
perempuan
53. Ompung boru = nenek, orang tua
perempuan dari ayah kita
54. Ompung doli = kakek, orang tua
laki-laki dari ayah kita
55. Ompungbao = kakek/nenek dari ibu
kita, orangtua dari ibu kandung kita
56. Ondok-ondok = cucu dari cucu
laki-laki
57. Pahompu = sebutan untuk semua cucu,
anak - anak dari semua anak kita
58. Pamarai = abang atau adik dari suhut
utama, orang kedua
59. Paramaan = anak (lk) dari hula-hula
60. Pariban = semua anak perempuan dari
pihak tulang kita, abang-adik karena isteri juga kakak-beradik, anak perempuan
yang sudah menikah dari pariban mertua perempuan
61. Parumaen = mantu perempuan, isteri
dari anak
62. Rorobot, tulangrorobot = tulang
isteri (bukan narobot)
63. Simatua boru = mertua perempuan, ibu
dari istri
64. Simatua doli = mertua laki-laki,
ayah/ bapak dari istri
65. Simolohon / simandokhon = iboto,
kakak atau adik laki-laki
66. Suhut = pemilik hajatan kelompok
orang yang membuat acara adat
67. Tulang = abang atau adik dari ibu,
mertua dari adik kita yang laki-laki
68. Tulang naposo = paraman yang sudah
menikah
69. Tulang Ni Hela = tulang dari
pengantin laki-laki
70. Tunggane boru, inang siadopan,
pardijabunami, = isteri
71. Tunggane doli, amang siadopan,
amanta jabunami = suami
72. Tunggane = semua abang dan adik (lk)
dari isteri kita, semua anak laki-laki dari tulang
E. MATA PENCAHARIAN
Pada
umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat
dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi tetapi
tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan
.
Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku
batak antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek.
Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga
berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, temmbikar, yang ada
kaitanya dengan pariwisata.
F. RELIGI
Pada
abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi batak selatan . Agama
kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebaranya meliputi batak utara.
Walaupun d emikian banyak sekali masyarakat batak didaerah pedesaan yang masih
mmpertahankan konsep asli religi pendduk batak. Orang batak mempunyai konsepsi
bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon dan
bertempat tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugasnya
dan kedudukanya .
Debeta Mula Jadi Na Balon : bertempat tinggal
dilangit dan merupakan maha pencipta; Siloan Na Balom: berkedudukan sebagai
penguasa dunia mahluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa orang batak
mengenal tiga konsep yaitu : Tondi: jiwa atau roh; Sahala : jiwa atau roh
kekuatan yang dimiliki seseorang; Begu : Tondinya orang yang sudah mati. Orang
batak juga percaya akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal.
G. KESENIAN
Seni
Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat magis); Tari serampang dua belas (bersifat
hiburan). Alat Musik tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan tenun dari
suku batak adalah kain ulos. Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara
perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan,
menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor. Kain adat sesuai
dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang.
wow, 1 suku aja bahasanya beda² ya..
BalasHapusIaa dunk, kita kan kaya akan budaya :)
BalasHapusSuku batak kan terbagi-bagi lagi, yg saya tau ada 6 yaitu Toba, karo,
pakpak, simalungun, mandailing dan angkola. Jadi bahasanya juga
beragam, menurut nama suku batak apa yg dianutnya :)
Tapi keenamnya itu masuk dalam namanya Suku Batak :)
pas kali bahh dengan tugas kuliah ku (suku bangsa batak toba)
BalasHapusxixixix
Dek abg minta tolong kirimkan referensi dan sumber tulisan kamu diatas dong. abg lagi butuh buat karya ilmiah abg. tlg ya.
BalasHapuskirim ke email abg ya.
theo_tc86@yaho.com
saya mempunya "PUSTAHA LAKLAK" bernilai sejarah tinggi, buku ini saya dapatkan dari warisan turun temurun. karna setelah dicek keasliannya berikut dicek bahwa terdapat penjaga didalam buku itu..kami sekeluarga sepakat utk melepaskan buku tsb. bagi yang berminat silahkan hubungi saya, tentunya dengan harga yang sesuai. telp : 081280380501 (lokasi seputaran cibubur)
BalasHapusApakah ada artikel tentang boraspati...??? klu ada tolong dishare dong, butuh sangat untuk tgs kuliah...
BalasHapusklu ada krim ke email : mariabinta123@gmail.com
trims...
ini nih kontennya bermanfaat buat generasi penerus
BalasHapusini nih kontennya bermanfaat buat generasi penerus
BalasHapusMaaf, Suku Batak tidak Menganut Clan, tetapi Marga, masih bnyak hal hal yang kurang dalam Artikel Anda, Terimakasih
BalasHapusmaaf, keterangan di awal tentang yg menyebutkan Silindung, samosir bukanlah Toba, sangat tdk tepat..
BalasHapusharap diperbaiki
bagaimana anda mengatakan Samosir buanlah Toba, sementara asal-usul org Batak saja diawali dari Samosir yakni Dolok Pusuk Buhit...
BalasHapusdan untuk artikel yg dipublikasikan begini, sebaiknya anda melakukan pengeditan terlebih dahulu bersama orang yg benar-benar paham dan sertakan juga sumber referensi anda...
terimakasih