Rabu, 07 November 2012

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Sejarah Proklamasi

6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang yang dilakukan oleh  Amerika Serikat, Hal inilah  yang membuat turunya moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai  dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki  sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati  dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Maeda Tadashi dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945  telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.

Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.

Sejarah Marga Parna (Pomparan ni si Raja Naiambaton)

Pomparan ni si Raja Naiambaton biasa disingkat menjadi PARNA, yaitu marga-marga yang dipercayai sebagai keturunan dari Raja Naiambaton yang karenanya tidak boleh menikah satu dengan yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam tulisan-tulisan pustaha Batak yang berbunyi "Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru” dalam bahasa Batak Toba, yang dapat diartikan dengan ”Keturunan Raja Naiambaton adalah sama-sama pemilik putra dan putri,” yang dalam arti lebih luas lagi dapat diartikan bahwa ”Putra-putri keturunan marga-marga Naiambaton tidak boleh menikah satu sama lain.”

Raja Naiambaton

Satu tulisan menyatakan bahwa Raja Naiambaton merupakan keturunan keenam dari Raja Batak, seperti berikut: Raja Batak memperanakkan Guru Tateabulan, memperanakkan Raja Isumbaon, memperanakkan Tuan Sorimangaraja, memperanakkan Raja Asiasi, memperanakkan Sangkaisomalindang, dan memperanakkan Raja Naiambaton

Marga-marga Parna

Terdapat perbedaan pada jumlah marga yang masuk dalam kelompok Parna ini, hal ini disebabkan karena adat kebudayaan Batak yang dapat menggunakan marga leluhur, percabangan marga kakek, ayah, atau bahkan percabangan marga baru. Tetapi walau berbeda marga, semuanya mengaku dipersatukan oleh ucapan di atas ("Pomparan ni si Raja Naiambaton sisada anak sisada boru”).

Adapun marga-marga batak yang termasuk dalam Pomparan Ni Raja Nai Ambaton (PARNA) yaitu:

1. Bancin ( sigalingging )

2. Banurea ( sigalingging )

3. Boangmenalu ( sigalingging)

4. Brampu ( sigalingging )

5. Brasa ( sigalingging )

6. Bringin ( sigalingging )

7. Dalimunthe

8. Gajah ( sigalingging )

9. Garingging ( sigalingging )

10. Ginting Baho

11. Ginting Beras

12. Ginting Capa

13. Ginting Guruputih

14. Ginting Jadibata

15. Ginting jawak

16. Ginting manik

17. Ginting Munthe

18. Ginting Pase

19. Ginting Sinisuka

20. Ginting Sugihen

21. Ginting Tumangger

22. Haro

23. Kombih (sigalingging )

24. Maharaja

25. Manik Kecupak (sigalingging)

26. Munte

27. Nadeak

28. Nahampun

29. Napitu

30. Pasi

31. Pinayungan (sigalingging ? )

32. Rumahorbo

33. Saing

34. Saraan (sigalingging )

35. Saragih Dajawak

36. Saragih Damunte

37. Saragih Dasalak

38. Saragih Sumbayak

39. Saragih Siadari

40. Siallagan

41. Siambaton

42. Sidabalok

43. Sidabungke

44. Sidabutar

45. Saragih Sidauruk

46. Saragih Garingging

47. Saragih Sijabat

48. Simalango

49. Simanihuruk

50. Simarmata

51. Simbolon Altong

52. Simbolon Hapotan

53. Simbolon Pande

54. Simbolon Panihai

55. Simbolon Suhut Nihuta

56. Simbolon Tuan

57. Sitanggang Bau

58. Sitanggang Gusar

59. Sitanggang Lipan

60. Sitanggang Silo

61. Sitanggang Upar Par Rangin Na 8 ( sigalingging )

62. Sitio

63. Tamba

64. Tinambunan

65. Tumanggor

66. Turnip

67. Turuten

Asal Mula Marga Turnip


Si Raja Batak di perkirakan ada sekitar tahun 1260 tepatnya di sianjur mula mula. Keturunana Si Raja Batak berkembang, salah satunya Si Raja Parna (Raja Naiambaton). Raja Naiambaton mempunyai dua anak yaitu Op.Raja Nabolon dan Raja Sitempang. Raja Nabolon mempunyai lima anak yaitu, Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munte Tua, Nahampang Tua.

Sekitar tahun 1793 lahirlah dari keturunan Tamba bernama Turnip Raja. Turnip Raja juga mempunyai abang yaitu Siallagan. Singkat cerita keturunan dari oppung kita manganut sistem marga. Selain itu, Siallagan, Turnip, Simarmata mempunyai padan (janji yang spesial) lebih dari sekedar sama sama parna. Yaitu si sada anak si sada boru, artinya keturunan simarmata keturunan turnip juga, keturunan turnip keturunan simarmata juga, keturunan turnip keturunan siallagan juga, dan seterusnya. Sebelum marga turnip terbentuk janji itu telah di ikat oleh ketiga oppung kita itu (turnip raja, simata raja, siallagan raja). Mereka mengikat janji ini karena mereka telah saling menolong sejak masi muda.
Marga Turnip adalah salah satu dari ratusan marga Batak yang nenek moyangnya berasal dari Pulau Samosir. Marga Turnip juga merupakan bagian dari kelompok marga yang tergabung dalam PomparAn ni Raja Nai Ambaton (PARNA). Hingga saat ini keseluruhan jumlah marga PARNA adalah sebanyak 71 marga (Sumber: www.batakonline.com).
Nenek moyang marga Turnip adalah Guru Sojouon atau dikenal dengan panggilan Guru Sawan yang awalnya mendiami daerah pesisir Pulau Samosir tepatnya Simanindo (sekarang ini Kecamatan Simanindo). Guru Sawan memiliki dua keturunan yakni Oppu Toga Turnip dan Oppu Jamanindo.
Informasi mengenai keturunan anak pertama, hingga saat ini belum diperoleh. Sementara ini hanya keturunan dari Oppu Jamanindo yang dapat diuraikan di bawah ini.
Oppu Jamanindo mempunyai lima keturunan yaitu (1) Oppu Marhilap, (2) Oppu Sotargudu, (3) Oppu Mualnihuta, (4) Oppu Mamatik dan (5) Oppu Sileang-leang Mangebas. Keturunan Oppu Marhilap tetap mendiami Simanindo dan sekitarnya, keturunan Oppu Sotargudu mendiami suatu tempat bernama Rautbosi. Sementara Oppu Mualnihuta dan Oppu Mamatik masing-masing mendiami Huta Ginjang dan Lintong. Oppu Sileang-leang Mangebas konon dikabarkan merantau ke daerah
dolok (daerah perbukitan Pulau Samosir) dan menetap di Huta Janji Maria Dolok.
Dari tempat-tempat inilah Marga Turnip (keturunan Guru Sawan) merantau dari Pulau Samosir. Sebagian besar ada yang merantau ke Kabupaten Simalungun, Kabupaten Deli Serdang, Kotamadya Medan, Kabupaten Labuhan Batu,Kabupaten Asahan, bahkan ada yang keluar dari Propinsi Sumatera Utara. Saat ini Marga Turnip menyebar dan berinteraksi baik dengan marga batak lainnya maupun dengan suku-suku lainnya.
info diatas saya dapat dari http://id.wikipedia.org/wiki/Turnip
Siallagan, Turnip, dan Simarmata, Tiga marga ini merupakan keturunan dari parna (Pomparan Raja Naiambaton) yang pada awalnya lahir di pulau samosir tepatnya di pesisir danau toba sekitar siallagan, simanindo dan simarmata, (SUMUT, Indonesia). Tiga marga ini memupunya kesatuan yang sangat erat (tidak hanya karena keturunan parna) yang kemudian membuat sebuah ikatan persaudaraan yang di sebut padan. Lahirnya padan tersebut juga di dasarkan beberapa cerita. (1) intri ketiga marga tersebut merupakan kakak beradik ( yaitu boru limbong), (2) turnip dan simarmata bertemu dalam perjalanan menuju samosir. Dimana sebelumnya, turnip dan simarmata mempunyai
penderitaan yang sama yaitu mereka meninggalkan orang tua mereka. Karena satu penderitaan tersebut, mereka mengikat padan. (siallagan dan turnip adalah abang adik). Menyadari adiknya berpadan, siallagan akhirnya tergabung dalam padan tersebut. (3) waktu jaman penjajahan, turnip dan siallagan mengalami kekurangan pasuka menghadapi penjajah, lalu simarmata ikut membantu, dan akhirnya mereka membuat padan. Pada tersebut berisi tentang si sada anak si sada boru.
Kenapa ada saragi turnip?
Sebelum indonesia merdeka, rakyat simanindo dan sekitarnya menghadapi masalah besar, dimana setiap warga wajib membayar pajak kepada penjajah (sebutan lainya pemberotak). Salah satu keturunan turnip yang mempunyai pasikan harimau (pasukan harimau : orang orang terlatih yang berani berjuang, berani mati demi raknat) tidak terima dengan perlakuan penjajah. Tindakan yang di ambil turnip dan pasukanya adalah membunuh siapa saja yang menagih pajak.
Dengan kondisi seperti diatas, marga turnip akhirnya di hadapkan pada masalah, salah satunya tidak bisa jadi Pegawai (pada waktu itu). Untuk itu, marga turnip yang mau jadi pegawai akhirnya mengganti marga mereka menjadi saragi. Kemerdekaan indonesia membawa perubahan ke keluarga besar turnip. Dimana tidak ada lagi hambatan untuk jadi pegawai, singkat cerita, orang yang bermarga saragi sebelumnya melengkapi marga mereka menjadi saragi turnip
ada satu lagi cerita gini…
sebelum marga turnip menjadi marga yang besar,, bapa udanya suda menjadi pengusaha di simalungun,, ya itu saragi tua…
sebagaimana pengalaman kita,, memulai sesuatu itu adalah hal yang sulit,, jadi sebagian dari keturunan turnip pergi ke simalungun bertemu bapa udanya.. karena hidup di samosir sangat sulit waktu itu,,
jadi untuk dapat kehormatan di simalungun mereka menggati marga menjadi saragi turnip,, dan simpelnya ditulis saragi….
“tulisan ini hanya carita rakyat, kekurang lengkapan dan kesalahan mohon di maafkan,, dan di klarifikasi.
Peradaban yang maju adalah peradaban yang menghargai sejarahnya. Tulisan ini hanya menelusuri sejarah marga turnip. menurut cerita dan penuturan dari beberapa sumber, ke akuratan nya masih perlu dipertanyakan/digali lebih luas dan mendalam berkaitan dengan PADAN Turnip, Simarmata dan Siallagan sisada anak sisada boru dohot sisada ulaon na marhabot ni roha manang marlas ni roha. karena pada zaman itu di seberang pulo simanindo yaitu Tigaras/Simalungun dibawah kekuasaan Raja Simalungun dengan segala kemampuan, kehebatan dan jumlah prajurit yang banyak berencana ingin menguasai dan menyerang Pulo Simanindo yang dihuni Turnip. mengingat keterbatasan Turnip, maka sesepuh Turnip meminta bantuan Siallagan & Simarmata untuk ikut berjuang mempertahankan wilayah Turnip dari serangan Raja Simalungun dengan cara membuat patung yang menyerupai manusia dari jerami lalu membakarnya hingga membuat Raja Simalungun mengurungkan niatnya untuk menyerang wilayah Turnip. mohon maaf kepada khalayak Turnip atau siapapun. jika cerita ini salah, jd mohon di sempurnakan. Mauliate
setahu saya, marga dari keturunan raja Naiambaton hanya 56 marga. terbagi dari lima raja yaitu;
I. Simbolon Tua
II. Tamba Tua
III. Saragi Tua
IV. Munte Tua
V. Nahampu Tua
kemudian dari kelima raja ini lahir lah 56 marga tsb. itupun smpi saat ini berapa jumlah marga dari raja Naiambaton belum ada yang bisa memastikan. klu pun ada karya tulisan berdasarkan penelitian yang dilakukan para penulis buku tarambo batak masih menimbulkan kontroversi. karna masing2 penulis menuturkan versinya, bahkan penulis yang satu dgn penulis yg lain mengenai tarombo batak sangat berbeda tergantung selera masing2. nah. disitulah letak kelemahan maupun para sesepuh kita dari awal hingga hari ini tdk pernah mendokumentasikan atau menulis kisah sejarah yg dialami disetiap zaman.
anakni tamba tua adong 3 ima ;
1. Sitonggor ( Tuan Ruma Bolon )
2. Lumban Tonga-tonga
3. Lumban Toruan
Hita ma pomparan ni sitonggor ima
1. Marrea Raja
2. Pande Raja
3. manggohi Raja
4. Mata Raja
Hita pinomparni Marrea Raja jala adong 3 anakna
1. Batu Mandiri ( Tamba ) natinggal di huta Tamba
2. Silaga Raja ( Siallagan ) natinggal di Batu-batu
3. Rea Raja ( Op. Toga Datu Turnip ) natinggal di Lumban Turnip
Jadi pinompar ni Rea Raja ima Op. Toga Datu Turnip adong 2 ima
1. Turnip Raja ( Maringan di Lumban Toguan 0
2. Turnip Tua ( Maringan di Lumban Turnip Toru ni Hariara )
jadi tuhita pomparan ni turnip sotung adong dihita namandok Turnip Raja dohot Turnip Hatoban.
Kenapa ada halak TURNIP memakai SARAGIH ; SARAGI ??? Itu semua tergantung pribadi halak
TURNIP itu sendiri apakah dia ingin memakai marga SARAGIH, SARAGI atau TURNIP saja. Biasanya TURNIP yang memakai marga SARAGIH pada umumnya berasal dari Simalungun/Batak Simalungun.
Sedangkan TURNIP yang memakai marga SARAGI tanpa H pada umumnya berasal dari Toba/Batak Toba. Ada juga TURNIP yang mengaku batak Simalungun tetapi tidak memakai marga SARAGIH (memakai TURNIP saja).
Mengapa ada marga TURNIP di Simalungun dan mengapa mereka memakai marga SARAGIH?? Perlu diketahui pada jaman dahulu banyak halak TURNIP eksodus dari Samosir (Simanindo) ke daerah Simalungun karena sesuatu hal. Perlu diketahui juga penyebaran marga TURNIP ke luar Samosir lebih banyak ke daerah Simalungun dibandingkan dengan daerah Tobasa atau Tapanuli Utara. Hal ini dikarenakan jika ditinjau secara geografis daerah Simanindo lebih dekat dengan daerah simalungun. Karena mereka sudah lama menetap di Simalungun maka budaya Toba yang mereka bawa dari Samosir mengalami transformasi menjadi budaya Simalungun. Pada awalnya budaya Toba masih melekat pada diri mereka, tetapi dikarenakan pengaruh lingkungan dan penyesuaian diri maka secara berangsur-angsur mereka menjadi batak Simalungun.
Mengapa mereka memakai marga SARAGIH??? Menurut cerita orang tua, bahwa marga SARAGIH merupakan hasil diaspora dari keturunan SARAGI TUA anak dari RAJA NAIAMBATON. Sementara telah diketahui bersama marga TURNIP merupakan keturunan dari TAMBA TUA.
Mengapa hal ini bisa terjadi??? Konon khabarnya, entah karena pengaruh penjajahan atau karena pengaruh feodalisme, maka marga-marga yang ada di Simalungun dikelompokkan dalam empat marga, yang dikenal dengan akronim SISADAPUR, singkatan dari SINAGA, SARAGIH, DAMANIK dan PURBA. Seluruh marga mengelompok kedalam empat marga, maka banyaklah terjadi hal-hal yang lucu, seperti SIHALOHO dan SIPAYUNG masuk menjadi SINAGA, suatu hal yang tidak mungkin terjadi di Toba, karena SIHALOHO dan SIPAYUNG adalah SILALAHI, sementara SINAGA ya SINAGA. Marga-marga SIMARMATA, TURNIP, MANIHURUK, SIDAURUK, SITANGGANG dsb adalah marga-marga Toba yang datang merantau ke Simalungun, karena sesuatu hal. Kenapa SIMARMATA, TURNIP, MANIHURUK, SIDAURUK,
SITANGGANG dsb memilih mejadi SARAGIH??? Karena keyakinan mereka bahwa SARAGIH adalah saudaranya atau dongan tubu nya yaitu SARAGI. Jadi dia tidak memilih menjadi SINAGA, DAMANIK dan PURBA, karena ketiga marga tsb bisa menjadi kelompok isteri, tapi bisa juga menjadi kelompok boru.
Sebenarnya tidak hanya TURNIP saja yang memakai marga SARAGIH, ada juga marga-marga PARNA yang lain memakai marga SARAGIH. Ada beberapa marga PARNA yang menjadi sub-marga SARAGIH.
Hal ini dapat dilihat di situs bawah ini :
http://id.wikipedia.org/wiki/Saragih
Begitulah pra ceritanya. Kita tidak perlu heran atau bingung dengan pemakaian marga SARAGIH
TURNIP ; SARAGI TURNIP ; SARAGIH saja ; SARAGI saja. Seharusnya kita BANGGA dengan orang-orang yang mengaku marga TURNIP karena mereka bagian kita juga dan bagian POMPARAN RAJA TURNIP. Walapun mereka membungkusi marga TURNIP dengan SARAGIH atau SARAGI. Perlu diketahui bahwa halak TURNIP bukan bersuku Batak Toba saja, tetapi ada yang bersuku Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Fakfak, dan Batak Mandailing. Oleh karena itu jangan perbedaan-perbedaan diantara halak TURNIP. “Sebab marga kita sandang sejak kita masih dalam kandungan inang/oma kita sampai kita meninggalkan dunia ini (Di batu nisan pun marga kita tertulis)”. Itu bagi orang Batak sejati.
“Perlu diketahui bahwa halak TURNIP bukan bersuku Batak Toba saja, tetapi ada yang bersuku Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Fakfak, dan Batak Mandailing.”
maksudnya pra? saya baru dengar turnip itu ada selain batak toba, bisa info lebih lengkap pra?
kalo yang saya dengar, semua turnip itu berasal dari batak toba, adapun saragih turnip.. itu
karena turnipnya merantau ke daerah simalungun…
Kenapa ada saragi turnip Sebelum indonesia merdeka, rakyat simanindo dan sekitarnya menghadapi masalah besar, dimana
setiap warga wajib membayar pajak kepada penjajah (sebutan lainya pemberotak). Salah satu
keturuna turnip yang mempunyai pasikan harimau (pasukan harimau : orang orang terlatih yang
berani berjuang, berani mati demi raknat) tidak terima dengan perlakuan penjajah. Tindakan
yang di ambil turnip dan pasukanya adalah membunuh siapa saja yang menagih pajak. Dengan
kondisi seperti diatas, marga turnip akhirnya di hadapkan pada masalah, salah satunya tidak
bisa jadi Pegawai (pada waktu itu). Untuk itu, marga turnip yang mau jadi pegawai akhirnya
mengganti marga mereka menjadi saragi. Kemerdekaan indonesia membawa perubahan ke keluarga
besar turnip. Dimana tidak ada lagi hambatan untuk jadi pegawai, singkat cerita, orang yang
bermarga saragi sebelumnya melengkapi marga mereka menjadi saragi turnip
ada satu lagi cerita gini…
sebelum marga turnip menjadi marga yang besar,, bapa udanya suda menjadi pengusaha di
simalungun,, ya itu saragi tua…
sebagaimana pengalaman kita,, memulai sesuatu itu adalah hal yang sulit,, jadi sebagian dari
keturunan turnip pergi ke simalungun bertemu bapa udanya.. karena hidup di samosir sangat
sulit waktu itu,,
jadi untuk dapat kehormatan di simalungun mereka menggati marga menjadi saragi turnip,, dan
simpelnya ditulis saragi….
“tulisan ini hanya carita rakyat, kekurang lengkapan dan kesalahan mohon di maafkan,, dan di klarifikasi. Peradaban yang maju adalah peradaban yang menghargai sejarahnya. Tulisan ini hanya menelusuri sejarah marga turnip.

Sejarah Suku Batak Toba dan 7 Unsur Kebudayaan


SEJARAH BATAK TOBA
            Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku Batak yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan, Borbor, Lumban Julu dan sekitarnya. Silindung, Samosir, dan Humbang bukanlah Toba. Karena sub atau bagian bangsa Batak tersebut memiliki wilayah dan contoh marga yang berbeda. Sonak Malela yang mempunyai tiga orang putra dan menurunkan empat marga, yaitu Simangunsong, Marpaung, Napitupulu dan Pardede, merupakan dan (nairasaon) yang terdiri dari Sitorus, Sirait, Butar-butar, Manurung ini merupakan beberapa marga dari Batak Toba. Marga atau nama keluarga adalah bagian nama yang merupakan pertanda dari keluarga mana ia berasal. Orang batak selalu memiliki nama marga/keluarga. Nama/marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus.

            UNSUR KEBUDAYAAN PADA SUKU BATAK
          A. BAHASA
            Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa logat, ialah: (1) Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo; (2) Logat Pakpak yang dipakai oleh Pakpak; (3) Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun; (4) Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing.
            1). Aksara / huruf Batak atau disebut ‘Surat Batak’ adalah huruf-huruf yang dipakai dalam naskah-naskah asli suku Batak (Toba, Angkola/Mandailing, Simalungun, dan Karo). Kelompok bahasa sub suku ini mempunyai kemiripan satu sama lain dan sebenarnya adalah cabang dari suatu bahasa Batak tua (Proto Batak). Naskah asli itu sebagian besar berupa pustaha (laklak), sebagian kecil lainnya dituliskan pada bambu dan kertas. Hampir semua orang Batak yang menulis buku tentang Batak selalu memasukkan satu bab atau bagian bukunya tentang Surat Batak atau paling tidak ia membuat sebuah tabel abjad Batak. Ini menunjukkan mereka bangga akan warisan budaya leluhurnya itu. Tetapi sayang sekali karena kurangnya pemahaman kerap kali salah kaprah dan tidak jelas. Kekeliruan ini akan nyata kalau kita terapkan untuk membaca suatu naskah asli Pustaha. Berani saya bertaruh, pasti akan sulit kita baca, alias membuat kita bingung sendiri. Bahkan dalam buku-buku wajib pelajaran aksara Batak yang dipakai di sekolah di daerah Tapanuli banyak dijumpai kekeliruan ini. Soalnya sekarang bagaimana membenahi ini semua ? Banyak buku bermutu dari pakar asing yang sangat baik bisa dipakai sebagai rujukan. Tetapi masalahnya adalah semuanya ditulis dalam bahasa asing, Jerman atau Belanda. Sekarang ini sudah jarang kita yang menguasainya.
Syukurlah beberapa tahun lalu, Dr. Uli Kozok, seorang ahli bahasa kuno (filolog) berkebangsaan Jerman, yang menyunting putri Tanah Karo, telah menulis sebuah buku panduan ringkas Surat Batak yang sangat baik dalam bahasa Indonesia “Warisan Leluhur, Sastra Lama dan Aksara Batak”, 1999. Kozok yang pernah menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (1990-1991) menulis disertasi tentang sastra Batak Ratapan (andung-andung). Dengan buku panduan Dr.Kozok ini diharapkan putra asli Batak yang berminat bisa memiliki bahan acuan yang baik untuk meneliti naskah-naskah tua yang hampir punah, dan masih tersebar di berbagai tempat di luar ataupun di dalam negeri. Ia juga telah membuat suatu font Surat Batak sehingga sekarang kita boleh melakukan pengetikan komputer dengan aksara Batak. Naskah pustaha sekarang sudah sangat langka dan tersebar di beberapa perpustaakan di Eropa. Diperkirakan jumlahnya hanya 2000 buah. Bagaimana caranya mengembalikannya ke tanah air perlu dipikirkan. Naskah batak yang ditemukan dalam bentuk bambu ataupun tulang kerbau dan kertas sangat kecil jumlahnya. Perlu dicatat, sastra Batak kebanyakan tidak ditulis melainkan dialihkan turun temurun secara lisan. Surat Batak hanya dipergunakan untuk ilmu kedukunan, surat menyurat (ancaman). Di daerah Karo, Simalungun, Angkola juga dipakai untuk menulis syair/nyanyian ratapan. Jadi legenda, mitos, cerita rakyat (turi-turian), umpama, umpasa, teka-teki (torhan-torhanan), silsilah (tarombo) tidak akan anda jumpai dalam bentuk naskah Batak asli. Khusus mengenai silsilah marga yang diturunkan dengan tradisi lisan, belakangan menimbulkan berbagai versi. Tidak jarang pecah perselisihan, yang sebenarnya lebih berpangkal pada ego kelompok dan tribalisme. Kebanyakan naskah berbentuk pustaha. Pustaha adalah semacam buku terbuat dari kulit kayu (laklak) yang dilipat sedemikian rupa dengan sampul terbuat dari kayu alim (lampak) yang lebih keras. Yang dituliskan pada pustaha pada pokoknya adalah soal-soal yang menyangkut ilmu kedukunan (hadatuon). P.VoorhoeveL.Manik yang meneliti 461 pustaha di beberapa perpustakaan di Eropa, sebagaimana dikutip oleh Kozok, membagi ilmu hadatuon :
1. Ilmu hitam (Pangulubalang, Pamunu tanduk, gadam dll)
2. Ilmu putih (Pagar, Sarang timah, Porsimboraon, dll)
3. Ilmu lain-lain (Tamba tua, Dorma, Parpangiron dll)
4. Obat-obatan
5. Nujum

Induk Huruf
Sistem tradisi penulisan didalam bahasa Batak Toba diduga telah ada sejak abad ke-13, dengan aksara yang mungkin berasal dari aksara Jawa Kuna, melalui aksara Sumatera Kuno.
Aksara ini bersifat silabis artinya tanda untuk menggambarkan satu suku kata/silaba atau silabis. Jumlah lambang/tanda itu sebanyak 19 buah huruf yang disebut juga induk huruf dan ditambah 7 jenis anak huruf. Pada dasarnya huruf /ka/ tidak pernah ditemukan dalam bahasa Batak Toba, misalnya orang Batak Toba pada mulanya bila menyebutkan kopi adalah hopi, dan hoda (bukan kuda). Tetapi sekarang ini orang Batak tidak lagi menyebutnya hopi melainkan kopi, itulah perubahan pelafalan dalam bahasa Batak Toba.
Penjelasan :
1.    Untuk menuliskan semua kata-kata asli bahasa Batak. Sebenarnya hanyalah dipergunakan aksara-aksara yang telah diperkenalkan itu. Tetapi karena pengaruh bahasa asing maka terpaksalah dibuat aksara-aksara yang lain untuk melengkapi aksara yang sudah ada itu, yaitu : wa, ka , ya, nya dan ca.
2.   Karena menulis garis yang agak melengkung jauh lebih mudah dan merasa senang dari pada membuat garis lurus, maka bentuk aksara-aksara Batak “Surat Barak” itu menjadi melengkung.
3.    Cara menulis aksara Batak sama saja dengan menulis huruf latin, yaitu dari kiri ke kanan.
4.    Surat Batak tidak mempunyai tanda baca seperti koma, titik koma dan lain sebagainya. Yang ada hanya tanda untuk menyatakan sebuah kalimat berakhir dengan bentuk seperti [ ]
5.    Pada surat Batak tak ada huruf besar atau kecil, sebab aksara Batak itu bentuknya sama. Anak huruf, Hatadingan (-) “e”; dan hamisaran/paninggil (..-) “ng” berada pada induk huruf dan hamisaran/paninggil “ng” dapat melekat dengan anak huruf seperti haluaan (o), singkora (x)
6.    Hamisaran; Paninggil “ng” selalu melekat pada anak huruf, seperti haluaan (o), singkora(x).

Anak Huruf
Anak huruf dalam aksara Batak Toba terdiri atas 7 buah yang dipergunakan untuk mengubah bunyi induk huruf, misalnya bunyi /i, u, o,e/ dan menambah bunyi /ng/ pada induk huruf tersebut . Perhatikan anak huruf di bawah ini.
1.    Haluaan (…. o) bunyi /i/, yakni mengubah bunyi induk huruf menjadi bunyi /i/.
2.    Haboruan atau haborotan (…>) bunyi /u/, yakni mengubah bunyi induk huruf menjadi bunyi /u/.
3.    Singkora atau siala (…x) bunyi /o/, yakni mengubah bunyi induk huruf menjadi bunyi /o/.
4.    Hatadingan (-…) bunyi /e/, yakni mengubah bunyi induk huruf menjadi bunyi /e/.
5.    Paninggil atau hamisaran bunyi /ng/, yakni menambah tanda garis di atas induk huruf sebelah kanan yang menjadi bunyi /ng/ atau tanda diakritis yang menutup suku kata dengan bunyi.
6.    Sikorjan (…=) bunyi /h/ yang terikat. Selain bunyi “h” yang dapat berdiri sendiri ada juga bunyi “h”. yang terikat kepada induk huruf (ina ni surat). Dahulu kala dalam pustaha Batak tidak mengenal huruf “h” yang terikat, akan tetapi mengenal huruf “h” yang bebas (tidak terikat) pada ina ni surat (induk huruf). Tanda huruf “h” (sikorjan) yakni membubuhi tanda garis dua diatas induk huruf agak ke sebelah kanan, yang pada akhirnya berbunyi /h/.
7.    Pangolat (\), merupakan garis miring berfungsi untuk merubah bunyi vokal menjadi bunyi konsonan atau tanda diakritis yang menghilangkan bunyi dari huruf induk pada akhir suku kata.
8.    Untuk pemenggalan di akhir kata, dipakai tanda kurung tutup misalnya tanda [ ) ].
9.    Untuk mengakhiri kalimat dipergunakan tanda kembang [ ]
10. Semua aksara ditulis di bawah garis dengan tujuan agar kelihatannya rapi dan mudah ditulis. Huruf besar dan huruf kecil tidak ada perbedaan.
11. Kata dalam aksara Batak ditulis tanpa jarak, tidak mempunyai batas permisah antar kata.
12. Untuk menulis aksara Batak ditulis agak melengkung sedikit (punggungnya agak bungkuk sedikit).
13. Patik dohot poda ni surat Batak :
·         Ingkon jumolo do ina ni surat bahenon, misalnya morhamisaran “ng” ipe asa maranak; morhatadingan “e”; morhaboruan “o” morhauluan “i”; morhaboritan “u”.
·         Ingkon jumolo do ina ni surat marhajoringan “h” (di Simalungun dohot Karo) ipe asa maranak; hatalingan “e” ; haboruan “o” hauluan “i”.
·         Ingkon jumolo do ina na tu inana tongonon “manongan “, ipe asa mangihut anakna bahenon.
·         Ndang jadi tu anak ni surat ampe hamisaran i, ingkon tu ina ni surat do parjolo, ipe asa maranak, morhauluan manang morhaboruan.



Pengembangan Akasara atau Tulisan Batak
            Pada awalnya nenek moyang kita Siraja Batak mengukir aksara Batak untuk dapat menulis bahasa Batak, bukan untuk dapat menulis bahasa-bahasa yang lain. Barangkali pada waktu aksara Batak itu disingahon Siraja Batak, mereka tidak teipikir bahwa masih ada bahasa-bahasa yang lain selain bahasa daerah Batak. Akan tetapi setelah Siraja Batak marpinompari, mereka menyebar ke desa na uwalu, barulah mereka tahu bahwa sebenarnya masih ada bahasa daerah selain bahasa Batak. Hal ini terjadi setelah datangnya sibontar mata (bangsa asing), kemudian menyusul dengan perang Batak dan perang Padri, barulah terbuka mata para pendahulu kita bahwa sebetulnya masih banyak bahasa-bahasa yang mereka temui di luar Tano Batak. Kemudian kita merdeka, maka semakin banyak pula pergaulan orang Batak dalam rangka mencari upaya-upaya peningkatan taraf hidup. Mereka bisa sekolah di negeri masing-masing bahkan bisa di luar Tano Batak dan akhirnya bisa ke Batavia. Pengetahuan kita semakin terbuka sehingga selain bahasa Indonesia masih banyak bahasa-bahasa daerah lain dibumi persada kita ini. Kalau kita melihat bahasa daerah Sunda, Jawa, Bali dan lain-lain, aksara Batak itu hanya bisa menulis bahasa Indonesia selain bahasa Batak. Aksara Batak tidak bisa menulis bahasa Sunda, Jawa, Aceh, Bali dan sebagainya maupun bahasa-bahasa asing seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman. Untuk mengantisipasi perkembangan zaman, sesuai dengan amanat GBHN, maka tokoh-tokoh masyarakat Batak melalui seminar pada tanggal 17 Juli 1988, telah mencoba mengembangkan aksara Batak dari 19 induk huruf menjadi 29 induk huruf. Dengan demikian, maka bahasa Indonesia akan dapat dituliskan dengan aksara Batak. Surat Batak yang di sepakati 17 Juli 1988 dikembangkan oleh masyarakat Batak Angkola-Sipirok-Padang Lawas-Mandailing-Toba-Toba-Dairi-Simalungun dan Batak Karo.


          B. PENGETAHUAN
            Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya.
Ini adalah nama-nama hari disatu bulan dalam bahasa Batak :


1. Artia
2. Suma
3. Anggara
4. Muda
5. Boraspati
6. Singkora
7. Samisara
8. Artia ni Aek
9. Suma ni Mangadop
10. Anggara Sampulu
11. Muda ni mangadop
12. Boraspati ni Tangkup
13. Singkora Purasa
14. Samisara Purasa
15. Tula
16. Suma ni Holom
17. Anggara ni Holom
18. Muda ni Holom
19. Boraspati ni Holom
20. Singkora Moraturun
21. Samisara Moraturun
22. Artia ni Angga
23. Suma ni Mate
24. Anggara ni Begu
25. Muda ni Mate
26. Boraspati Nagok
27. Singkora Duduk
28. Samisara Bulan Mate
29. Hurung
30. Ringkar




Nama bulan dalam bahasa Batak :


1. Sipahasada
2. Sipahadua
3. Sipahatolu
4. Sipahaopat
5. Sipahalima
6. Sipahaonom
7. Sipahapitu
8. Sipahaualu
9. Sipahasia
10. Sipahasampulu
11. Li
12. Hurung



          C. TEKNOLOGI
            Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.

          D. ORGANISASI SOSIAL
            a. Perkawinan
            Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari marga lain selain marganya. Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan). Acara tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen. Untuk mahar perkawinan-saudara mempelai wanita yang sudah menikah.

            b. Kekerabatan
Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut Huta atau Kuta menurut istilah Karo. Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Ada pula kelompok kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok pariteral keturunan pendiri dari Kuta. Marga tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga.
Klen kecil tadi merupakan kerabat patrilineal yang masih berdiam dalam satu kawasan. Sebaliknya klen besar yang anggotanya sdah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya. Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu : (a) perbedaan tigkat umur, (b) perbedaan pangkat dan jabatan, (c) perbedaan sifat keaslian dan (d) status kawin.
«  Dalihan Natolu artinya tungku berkaki tiga. Pertanyaan berikutnya kenapa harus berkaki tiga bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang mempunyai peranan mutlak dan akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. Wow suatu sistem yang sangat Demokratis.
Latar Belakang Pemakaian Istilah “Dalihan Na Tolu”
Pada masa dulu, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu, tungku itu dalam bahasa Batak disebut Dalihan. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan primer, digunakan untuk memasak makanan dan minuman. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Tungku (dalihan natolu), kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal, benda pengganjal ini dalam bahasa Batak Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.
Dalihan Na Tolu dalam hukum adat maupun budaya batak
Konsep Dalihan Na Tolu dalam hukum adat maupun budaya batak diartikan dalam 4 bagian yaitu:


1. Hula-hula 
2. Dongan Tubu
3. Boru


Dalihan Na Tolu dalam pengelompokan masyarakat bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula-hula, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu dan ada saatnya menjadi Boru. Prinsip Dalihan Na Tolu tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. 
Sebagai contoh : Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur (berperan sebagai Boru) harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat (Berperan sebagai Hula-hula). Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya.
Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan sistem demokrasi Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal. Dalihan Natolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Penanannya dalam kehidupan sehari-hari sangat besar seperti halnya menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Kemudian dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:

*      Somba Marhula-hula : ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hula-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. 

Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki. Sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya. Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo). Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isisnya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah. Jadi pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru)
Dalam budaya Batak, ada umpasa yang mengatakan "Litok aek ditoruan, tujulu ni jalanan". Hal ini terjadi apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup. Ada pemikiran, semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau menderita itu ada sikap-sikap yang tidak menghormati hula-hula, sehingga pernyataan siraraon do gadongna dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk menghilangkan bala itu, diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk memohon ampun apabila ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu kepada pihak hula-hula.
Upacara mamboan sipanganon disampaikan kepada keturunan pihak hula-hula setaraf generasi terdahulu atau tingkat yang dianggap pernah terjadi kesalahan itu.
Dalam berbagai agama, ibu sangat diagungkan. Bahkan ada ungkapan sorga ada ditelapak kaki ibu. Dalam agama Kristen, hukum Taurat ke V menyebutkan, hormatilah ibu-bapamu agar lanjut usiamu, dst. Tidaklah bertentangan bila falsafah dalihan na tolu somba marhula-hula diterapkan. Karena kita menghormati keluarga ibu yang kita cintai itu. Dalam agama Kristen disebutkan, kalau menghormati orang tua, akan mendapat berkat dan lanjut usia.

*      Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan : berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita (anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.

*      Manat mardongan tubu/sabutuha : suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati –hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan dll. Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati (masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong. Dalihan Natolu menjadi media yang memuat azas hukum yang objektif.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya Toga Simamora yakni Purba, Manalu dan Debataraja. Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
"Angka naso manta mardongan tubu, na tajom ma adopanna"
Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik. Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.

Apabila dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan pada perkelahian. Hal itu dapat dipahami, karena suatu keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Bahkan karena diikat oleh kasih sayang, dalam adat Batak , namardongan tubu dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya. Misalnya panggilan “ho”, “langkam”, “amani aha”, dll panggilan yang sangat akrab. Namun harus diingat, dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang menimbulkan pertikaian atau perkelahian. Hal ini dapat terjadi pada tonggo raja (perencanaan acara puncak adat) yang tidak menempatkan posisi dongan tubu sesuai dengan kepentingan adat.

Dalam kasus lain, manta mardongan tubu sangat perlu diingat dalam masalah harta warisan atau masalah kepemilikan. Karena dalam kenyataannya, masalah warisanlah penyebab terbesar pertikaian di kalangan namardongan tubu. Hal itu terbukti pula dalam persidangan-persidangan pengadilan negeri di Bona Pasogit yang bertikai akibat harta warisan (terutama tanah) sering membawa korban jiwa. Pertikaian akibat harta warisan antara boru ke hula-hula sangat jarang sekali.
Dalam ungkapan (umpasa) batak ada istilah "jolo diseat hata asa di seat raut", artinya, sebaiknya segala sesuatu itu dimusyawarahkan dulu sebaik-baiknya, barulah dilaksanakan. Umunya umpasa itu disampaikan dalam rangka pembagian jambar, yang diatur oleh pihak-pihak namardongan tubu. Itulah sebabnya ada ungkapan marpanungkun (konsultasi).
"Patutak Pande Bosi, soban bulu panggorgorina,
Marpukpak angka na marhahamaranggi (na mardongan tubu) angka boru ma pangolanina" 


Pandai Besi (pande bosi) biasanya dalam membentuk tempahannya sangat riuh bunyi peralayannya. Namun untuk menjadikan tempahan itu, harus ada kayu atau arang yang membakarnya supaya jadi baik. Demikian diumpamakan, kalau pihak hula-hula namardongan tubu bertikai karena sesuatu hal, agar tercapai kebaikan, pihak boru berperan sebagai penengah, bukan terlihat dalam pertikaian itu.

Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.

Peranan Dalihan Na Tolu dalam Sistem Pemerintahan
Di Tapanuli telah diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10 Tahun 1990).
Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya adat-istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. (Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga DalihanNatolu adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, kebudayaan, kesenian daerah, gotong royong dan kekeluargaan.(Pasal 1 h Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga ini berkedudukan di tempat Desa/Kelurahan/Kecamatandan tingkat Kabupaten(Pasal 5 dan 7 Perda No. 10 Tahun 1990). Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat. Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ada begitu banyak sapaan kekerabatan yang biasa diucapkan oleh masyarakat Batak yang sering kita dengar, tetapi banyak juga orang yang mengklaim dirinya suku batak tetapi tidak tahu "martutur"(bertutur sapa).
Kesalahan dalam sapaan ini bagi masyarakat Batak yang memahami adat dapat mengakibatkan ketersinggungan dan komunikasi yang tidak baik kepada lawan bicara sehingga sering muncul ucapan "Naso maradat do ho bah !". 

Oleh sebab itu masyarakat Batak wajib memahaminya, berikut ini ada beberapa tutur sapa yang sering diucapkan semoga berguna :
1.    Ale-ale   = teman akrab, bisa saja berbeda marga
2.    Amang Naposo = anak (lk) abang/adik dari hula-hula kita
3.    Amang/ damang/ damang parsinuan =ayah, bapak, sapaan umum menghormati kaum laki-laki
4.    Amangbao = suami dari adik/ kakak (pr) (eda) suami kita
5.    Amangboru = suami kakak atau adik perempuan dari ayah
6.    Amangtua mangulaki = kakek ayah
7.    Amangtua = abang dari ayah, suami dari kakak ibu, suami dari pariban ayah yang lebih tua
8.    Amanguda = adik laki-laki dari ayah, suami dari adik ibu, suami dari pariban ayah yang lebih muda
9.    Amanta/ amanta raja = kaum laki-laki yang biasa dipanggil pada sebuah acara adat
10. Ampara = sapaan umum buat yang se-marga, marhaha-maranggi (abang-adik) untuk yang laki-laki
11. Anakboru = perempuan yang masih gadis atau belum menikah
12. Anggi doli = suami dari anggiboru. Adik (lk) sudah kawin.
13. Anggi = adik kita (lk), adik (pr) boru tulang
14. Anggiboru = isteri adik kita yang laki-laki, istri dari adik yang satu marga
15. Angkang boru = isteri abang satu marga
16. Angkang doli = abang, laki-laki yang lebih tua dari kita yang sudah menikah dan satu marga sesuai tarombo / silsilah
17. Angkangboru mangulaki = namboru ayah dari seorang perempuan
18. Bere = semua anak (lk / pr) dari adik/kakak perempuan
19. Bona niari = tulang dari kakek
20. Bonaniari binsar = tulang dari ayah kakek
21. Bonatulang = tulang dari ayah
22. Boru diampuan = keturunan dari namboru ayah
23. Boru = anak kandung perempuan, semua pihak keluarga dari saudara perempuan
24. Borutubu = semua menantu (lk) / isteri dari satu ompung
25. Dahahang (baoa/ boru) = abang kita atau isterinya
26. Dainang = ibu, sebutan kasih sayang anak kepada ibu, digunakan juga oleh ayah kepada anak perempuannya
27. Dakdanak = anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil
28. Damang = ayah, bapak, sebutan kasih sayang dari anak kepada ayah, digunakan juga oleh ibu kepada anaknya sendiri
29. Dolidoli = laki-laki yang masih lajang atau belum menikah
30. Dongan sahuta = kekerabatan akrab karena tinggal dalam satu kampung
31. Dongansapadan = dianggap semarga karena diikat oleh janji atau ikrar
32. Dongantubu = abang/ adik satu marga
33. Eda = kakak atau adik ipar antar perempuan, sapaan awal antara sesama wanita
34. Haha = abang laki-laki
35. Hahadoli = sebutan isteri terhadap abang (kandung) suaminya, abang dari urutan marga
36. Hela = suami anak perempuan kita, menantu laki-laki, bisa juga sebutan untuk suami dari anak perempuan kita yang se-marga dan setarap menurut silsilah marga
37. Hula-hula = keluarga abang/adik (lk) dari isteri
38. Ibebere = keluarga anak (lk/pr) dari pihak perempuan
39. Inang simatua = ibu mertua
40. Inangbao = isteri dari adik/ abang (lk) istri kita
41. Inangnaposo = isteri dari amangnaposo
42. Inangtua mangulaki = nenek ayah
43. Inangtua = isteri dari abang ayah, ada juga inangtua marpariban
44. Inanguda = isteri dari adik ayah, ada juga inanguda marpariban
45. Inanta/ inanta soripada = sebutan penghormatan bagi wanita sudah menikah, kaum ibu yang lebih dihormati dalam acara adat
46. Ito, iboto = kakak atau adik perempuan satu marga, sapaan awal dari laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya, panggilan kita kepada anak perempuan dari namboru
47. Lae = tutur sapa anak laki-laki tulang dengan kita (lk) maupun sebaliknya, tutur sapa awal perkenalan antara dua laki-laki, suami dari kakak atau adik kita sendiri (lk), anak laki-laki dari namboru kita (lk)
48. Maen = anak-gadis dari hula-hula kita
49. Namboru = kakak atau adik ayah kita yang sudah menikah maupun belum
50. Nantulang = isteri dari tulang kita, mertua dari adik kita yang perempuan
51. Nini = sebutan untuk anak dari cucu laki-laki
52. Nono = sebutan untuk anak dari cucu perempuan
53. Ompung boru = nenek, orang tua perempuan dari ayah kita
54. Ompung doli = kakek, orang tua laki-laki dari ayah kita
55. Ompungbao = kakek/nenek dari ibu kita, orangtua dari ibu kandung kita
56. Ondok-ondok = cucu dari cucu laki-laki
57. Pahompu = sebutan untuk semua cucu, anak - anak dari semua anak kita
58. Pamarai = abang atau adik dari suhut utama, orang kedua
59. Paramaan = anak (lk) dari hula-hula
60. Pariban = semua anak perempuan dari pihak tulang kita, abang-adik karena isteri juga kakak-beradik, anak perempuan yang sudah menikah dari pariban mertua perempuan
61. Parumaen = mantu perempuan, isteri dari anak
62. Rorobot, tulangrorobot = tulang isteri (bukan narobot)
63. Simatua boru = mertua perempuan, ibu dari istri
64. Simatua doli = mertua laki-laki, ayah/ bapak dari istri
65. Simolohon / simandokhon = iboto, kakak atau adik laki-laki
66. Suhut = pemilik hajatan kelompok orang yang membuat acara adat
67. Tulang = abang atau adik dari ibu, mertua dari adik kita yang laki-laki
68. Tulang naposo = paraman yang sudah menikah
69. Tulang Ni Hela = tulang dari pengantin laki-laki
70. Tunggane boru, inang siadopan, pardijabunami, = isteri
71. Tunggane doli, amang siadopan, amanta jabunami = suami
72. Tunggane = semua abang dan adik (lk) dari isteri kita, semua anak laki-laki dari tulang

          E. MATA PENCAHARIAN
            Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan .
Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, temmbikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.



          F. RELIGI
            Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi batak selatan . Agama kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebaranya meliputi batak utara. Walaupun d emikian banyak sekali masyarakat batak didaerah pedesaan yang masih mmpertahankan konsep asli religi pendduk batak. Orang batak mempunyai konsepsi bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon dan bertempat tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugasnya dan kedudukanya .
Debeta Mula Jadi Na Balon : bertempat tinggal dilangit dan merupakan maha pencipta; Siloan Na Balom: berkedudukan sebagai penguasa dunia mahluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa orang batak mengenal tiga konsep yaitu : Tondi: jiwa atau roh; Sahala : jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang; Begu : Tondinya orang yang sudah mati. Orang batak juga percaya akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal.

          G. KESENIAN
            Seni Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat magis); Tari serampang dua belas (bersifat hiburan). Alat Musik tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan tenun dari suku batak adalah kain ulos. Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang.